DPRD seharusnya menjadi lembaga pengawas, kerap ikut dalam negosiasi proyek. Pembahasan anggaran berubah menjadi arena tawar-menawar, bukan diskusi kepentingan publik. Di sinilah korupsi kebijakan sering berawal bukan dari amplop, tapi dari kompromi.
beritadesa.com-Menjelang akhir tahun, kalender birokrasi daerah selalu dipenuhi satu ritual yang berulang: kejar tayang serapan anggaran. Di banyak kabupaten dan kota, papan proyek baru bermunculan di jalan utama, dari perbaikan trotoar hingga pembangunan taman kota. Namun di balik geliat itu, publik tahu, sebagian besar proyek hanyalah cara menutup laporan keuangan agar serapan anggaran tampak maksimal.
Di atas kertas, ini terlihat sebagai bukti kinerja pemerintah daerah. Dalam kenyataannya, sebagian besar proyek tersebut tak memiliki urgensi nyata. Jalan lingkungan yang baru diaspal tahun lalu digali lagi tahun ini. Gedung serbaguna dibangun megah, tetapi menganggur tanpa kegiatan. Di sisi lain, puskesmas kekurangan obat, guru honorer belum dibayar penuh, dan petani masih menunggu irigasi yang dijanjikan.
Fenomena ini menggambarkan wajah politik anggaran yang sesungguhnya: penuh transaksi, minim empati.
Politik Serapan dan Simbol Keberhasilan Palsu
Dalam sistem pemerintahan kita, serapan anggaran masih menjadi ukuran utama “keberhasilan”. Kepala daerah yang bisa menyerap anggaran di atas 95 persen dianggap efektif dan layak diberi penghargaan. Padahal, angka itu tak selalu sebanding dengan manfaat yang dirasakan masyarakat.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, setiap tahun terdapat pola berulang: sekitar 40 persen realisasi belanja daerah justru terjadi dalam tiga bulan terakhir. Artinya, anggaran publik baru bergerak setelah hampir setahun dibiarkan mengendap. Penyebabnya beragam-mulai dari keterlambatan pembahasan APBD, tarik-menarik proyek antara legislatif dan eksekutif, hingga rendahnya kapasitas perencanaan birokrasi.
Namun, di balik itu semua, ada kepentingan politik yang lebih halus: anggaran publik menjadi alat tukar pengaruh dan loyalitas. Proyek yang muncul mendadak sering kali punya nilai politis, bukan ekonomis. Pekerjaan fisik lebih disukai karena kasatmata, bisa difoto, dan dijadikan alat promosi kekuasaan.
Kelemahan Struktural : Otonomi Yang Timpang
Desentralisasi yang diharapkan membawa kemandirian daerah justru kerap berbalik arah. Banyak daerah terlalu bergantung pada transfer pusat, baik melalui Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam situasi seperti ini, kepala daerah lebih sibuk memastikan aliran dana dari Jakarta lancar daripada membangun basis pendapatan sendiri.
Akibatnya, struktur APBD didominasi belanja rutin: gaji pegawai, tunjangan, perjalanan dinas, dan rapat koordinasi. Belanja publik untuk pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur dasar sering kali tersisa di akhir. Riset Kementerian Keuangan menunjukkan, lebih dari 60 persen APBD di Indonesia habis untuk belanja aparatur. Sisanya tersebar dalam pos-pos kecil yang sering tak menyentuh kebutuhan masyarakat langsung.
Kemandirian fiskal pun terhambat. Dari 514 daerah di Indonesia, hanya sekitar 40 yang mampu membiayai lebih dari separuh anggarannya dari pendapatan asli daerah (PAD). Selebihnya hidup dari transfer pusat. Dengan ketergantungan seperti ini, wajar jika politik anggaran lebih mirip manajemen pembagian kue daripada strategi pembangunan jangka panjang.
Kehilangan Arah Pembangunan
Banyak kepala daerah yang terjebak dalam logika “tahun anggaran”. Program disusun bukan berdasarkan rencana strategis, tetapi mengikuti kalender politik. Ketika pergantian pejabat terjadi, arah prioritas pun berubah. Jalan yang belum selesai tiba-tiba dihentikan karena bukan “program” penguasa baru. Di sisi lain, proyek baru muncul untuk menandai kekuasaan berikutnya.
Akibatnya, publik melihat pembangunan berjalan zigzag. Tidak ada kesinambungan visi. Tidak ada evaluasi berbasis data. Yang muncul hanya proyek-proyek jangka pendek yang mudah diresmikan dan cepat dilupakan. Padahal, pembangunan seharusnya bukan sekadar membelanjakan anggaran, tetapi mengubah kualitas hidup masyarakat.
Kritik publik terhadap pola ini sebenarnya sudah lama terdengar. Namun sistem politik kita justru memeliharanya. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya menjadi lembaga pengawas, kerap ikut dalam negosiasi proyek. Pembahasan anggaran berubah menjadi arena tawar-menawar, bukan diskusi substantif tentang kepentingan publik. Di sinilah korupsi kebijakan sering berawal bukan dari amplop, tapi dari kompromi.
Jalan Pembenahan : Transparansi dan Partisipasi
Jika kita ingin keluar dari lingkaran ini, dua hal perlu dikuatkan: transparansi dan partisipasi publik.
Pertama, masyarakat harus bisa memantau penggunaan anggaran secara terbuka dan mudah diakses. Banyak daerah sudah memiliki portal informasi APBD, tetapi isinya masih berupa angka mentah tanpa penjelasan. Padahal, keterbukaan data adalah alat paling ampuh melawan pemborosan.
Kedua, partisipasi publik dalam penyusunan anggaran harus diperluas. Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) sering kali hanya formalitas; aspirasi masyarakat jarang benar-benar menjadi prioritas. Jika proses ini dibuat lebih terbuka dan berbasis kebutuhan nyata, politik anggaran bisa kembali ke tujuan semula: menyejahterakan rakyat.
Refleksi : Uang Publik, Amanat Politik
Anggaran adalah cermin moral kekuasaan. Cara pemerintah membelanjakan uang menunjukkan kepada siapa ia berpihak. Ketika anggaran lebih banyak mengalir untuk beton daripada buku, untuk perjalanan dinas daripada gizi anak sekolah, maka arah moralnya sudah melenceng.
Kita sering membanggakan otonomi daerah sebagai simbol demokrasi yang matang. Namun tanpa integritas fiskal, otonomi hanya memperbanyak pusat-pusat kekuasaan kecil yang meniru kebiasaan buruk di pusat.
Memperbaiki politik anggaran bukan hanya soal teknis perencanaan, tapi juga soal etika publik. Karena setiap rupiah di APBD bukan milik pejabat, melainkan titipan rakyat. Setiap proyek yang dibangun tanpa manfaat adalah bentuk pengkhianatan kecil terhadap kepercayaan itu.
Di pengunjung tahun ini, saat spanduk proyek mulai bertebaran dan laporan keuangan disusun rapi, pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah uang publik benar-benar menetes ke rakyat, atau hanya menguap di antara rapat dan seremoni ? (*)
Penulis : Laurensius Bagus, Mahasiswa Universitas Cokroaminoto Yogyakarta









