BELAKANGAN ini publik dikejutkan dengan kabar kenaikan tunjangan DPR yang terasa kontras di tengah kehidupan rakyat yang kian terhimpit. Di sisi lain, pemerintah daerah gencar menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tanpa menawarkan transparansi pelayanan yang sepadan. Tak heran jika jalanan kembali ramai oleh aksi demonstrasi.
Fenomena ini bisa dibaca melalui lensa teori kesadaran Paulo Freire. Pertama, ada kesadaran naif, dimana masyarakat kerap menerima kebijakan begitu saja, menganggap bahwa kenaikan pajak atau tunjangan pejabat adalah “aturan dari atas” yang tidak bisa digugat.
Kedua, muncu lkesadaran mistik: rakyat mencari penjelasan metafisik atas ketidakadilan, misalnya dengan meyakini bahwa kondisi ini adalah “takdir” atau “ujian”. Tapi yang lebih penting adalah lahirnya kesadaran kritis: kesadaran bahwa kebijakan publik tidak netral, dan bahwa rakyat punya hak untuk menuntut perubahan.
Kita melihat pergeseran kesadaran itu dalam berbagai isu. Mulai dari demo menolak kenaikan PBB, polemik kenaikan iuran BPJS Kesehatan, hingga kemarahan publik terhadap kasus ojol yang tertabrak mobil Brimob saat demo. Semua peristiwa itu memperlihatkan bahwa rakyat mulai menghubungkan masalah-masalah keseharian mereka dengan struktur kekuasaan yang timpang.
Di sinilah pelayanan publik diuji. Negara seharusnya hadir sebagai pengayom, bukan sekadar pemungut pajak atau institusi yang memberi privilese pada pejabat. Kenaikan tunjangan DPR tanpa disertai peningkatan akuntabilitas hanya akan memperlebar jarak antara wakil rakyat dengan rakyatnya.
Di titik inilah Ombudsman RI memegang peranan penting. Sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk mengawasi pelayanan publik, Ombudsman diharapkan tidak sekadar menunggu laporan masyarakat, namun aktif mengkritisi, memberi catatan, bahkan berani merekomendasikan langkah-langkah tegas atas kebijakan yang merugikan rakyat. Dengan begitu, Ombudsman bisa benar-benar menjadi jembatan suara masyarakat, memastikan negara tidak berlaku sewenang-wenang dalam urusan pelayanan publik.
Kini, pilihan ada di tangan kita semua. Apakah kita tetap terjebak dalam kesadaran yang naif atau berani melangkah ke tingkat kesadaran kritis. Karena hanya dengan kesadaran kritis itulah rakyat bisa mendorong negara kembali pada tugas utamanya untuk melayani masyarakat. Jika negara tak segera berbenah, maka jalanan akan terus menjadi ruang kelas rakyat untuk belajar politik.
Pada akhirnya, inti dari pelayanan publik adalah soal kepercayaan. Rakyat bersedia membayar pajak, iuran, dan kewajiban lainnya bukan karena takut pada sanksi, melainkan karena ada keyakinan bahwa negara akan mengelola dengan adil. Ketika kepercayaan ini tercederai-misalnya lewat kenaikan tunjangan pejabat yang tidak masuk akal-maka yang retak bukan hanya neraca keuangan rakyat, melainkan juga ikatan sosial antara negara dan warganya. Kehilangan kepercayaan ini jauh lebih berbahaya dibanding defisit anggaran apa pun.
Lebih jauh, kita perlu menyadari bahwa kritik publik bukanlah bentuk permusuhan, melainkan wujud partisipasi politik yang paling sehat. Demonstrasi, tulisan di media, hingga keluhan di ruang-ruang digital adalah cara rakyat menyampaikan suara yang sering kali tidak didengar melalui jalur formal. Menutup mata terhadap kritik sama saja dengan mematikan mekanisme koreksi yang seharusnya membuat negara lebih dewasa. Dalam konteks inilah, keberanian mendengar kritik harus menjadi bagian tak terpisahkan dari etika pelayanan publik.
Di tengah situasi yang kian kompleks, kita juga belajar bahwa perubahan tidak bisa hanya diharapkan dari elite politik. Kesadaran kritis harus tumbuh di tiap lapisan masyarakat-dari petani yang berhadapan dengan pungutan berlapis, guru honorer yang menuntut kepastian kerja, hingga anak muda yang resah karena masa depannya dipertaruhkan oleh kebijakan serampangan.
Setiap pengalaman ketidakadilan, bila dirajut menjadi kesadaran bersama, bisa menjadi energi moral untuk mendorong lahirnya pelayanan publik yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Penulis : Marzuqo Septianto Asisten Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat